Nadia hidup di bawah pengawasan ketat kedua orang tuanya. Setiap gerak-geriknya selalu diawasi, dan ia diharuskan melaporkan segala aktivitasnya. “Kami hanya ingin melindungimu,” ujar ibunya setiap kali Nadia memprotes aturan yang mengekangnya.
Saat teman-temannya mengajak bermain sepulang sekolah, Nadia selalu menolak karena tahu izin tak akan pernah diberikan. Bahkan, ponselnya kerap diperiksa tanpa seizin dirinya. Suatu ketika, orang tuanya menemukan pesan dari seorang teman laki-laki. Ayahnya langsung murka dan melarang Nadia berinteraksi dengan laki-laki manapun.
“Mengapa semuanya harus begini?” tangis Nadia di kamarnya. Ia merasa hidup seperti burung dalam sangkar tanpa kebebasan untuk terbang.
Teman sekelasnya, Lia, akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. “Nad, kamu kelihatan tertekan. Cobalah bicara dengan orang tuamu,” saran Lia. Perkataan itu terus terngiang di benak Nadia.
Akhirnya, Nadia mengumpulkan keberanian untuk berbicara dari hati ke hati dengan orang tuanya. Di ruang keluarga, ia mengungkapkan rasa tertekannya karena perlakuan posesif mereka. “Aku tahu kalian ingin melindungiku, tapi aku juga perlu kesempatan untuk bertanggung jawab atas diriku sendiri,” kata Nadia.
Meski awalnya mereka sulit menerima, tangisan jujur Nadia berhasil mengetuk hati orang tuanya. “Kami hanya takut sesuatu yang buruk menimpamu, tapi mungkin cara kami keliru,” ujar ibunya pelan.
Sejak hari itu, orang tua Nadia mulai memberikan ruang untuknya. Meski perubahan berjalan lambat, mreka belajar mengurangi sikap posesif, dan Nadia membuktikan dirinya mampu bertanggung jawab. Kebebasan yang mulai ia rasakan mengajarinya tentang kepercayaan diri, sementara orang tuanya belajar memberikan kepercayaan.