Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dititpkan kepada orang tua dan harus dijaga dan dirawat sebagaimana semestinya. Keberadaan anak sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa menyertakan harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi sebagaimana hal tersebut telah melekat sejak di dalam kandungan. Sebagai pewaris masa depan bangsa dan penerus cita-cita nasional, mereka memiliki hak fundamental untuk hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, dan mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, serta menikmati hak-hak sipil dan kebebasan.
Maulana Hasan Wadong [1]mengemukakan berbagai pengertian anak menurut sistem, kepentingan, agama, hukum, sosial dan lain sebagainya sesuai fungsi, makna dan tujuanya sebagai berikut:
- Pengertian anak dari aspek agama, yaitu anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat, Bangsa dan Negara sebagai pewaris dari ajaran agama yang kelak akan memakmurkan dunia. Sehingga anak tersebut diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima orang tua,
- Pada dasarnya yang dimaksud dengan tindak pidana anak Pengertian anak dari aspek sosiologis, yaitu anak adalah mahkluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya karena berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa karena kemampuan daya nalar (akal) dan kondisi fisiknya dalam perubahan yang berada dibawah kelompok orang dewasa.
- Pengertian anak dari aspek ekonomi, yaitu anak adalah seseorang yang berhak atas pemeliharaanya dan perlindungan, baik semasadalam kandungan dan perlindungan lingkungan hidup yang dapatmembahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembanganya dengan wajar.
- Pengertian anak dari aspek politik, yaitu anak sebagai tempat “issue bargaining”. Politik yang kondusif, kebijaksanaan politik muncul dengan menonjolkan suara-suara yang mengaspirasikan status anak dan cita-cita memperbaiki anak-anak dari berbagai kepentingan partai politik.
Dalam hal ini definisi Anak lainnya adalah seorang individu yang masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun mental. Anak dianggap belum matang secara hukum, sosial, dan emosional untuk membuat keputusan sendiri. Dalam hukum anak biasanya didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai usia tertentu, yang umumnya adalah 18 tahun, meskipun angka ini dapat bervariasi tergantung pada negara atau yurisdiksi. Di bawah usia ini, seseorang biasanya dianggap belum dewasa dan masih membutuhkan perlindungan dan bimbingan orang tua atau wali. Definisi ini penting untuk memahami hak-hak, tanggung jawab, dan perlindungan yang diberikan kepada anak dalam berbagai aspek kehidupan[2].
Hak Asasi Manusia tentang anak di Indonesia saat ini menunjukkan perkembangan yang beragam dalam berbagai aspek kehidupan. Dari sisi perlindungan hukum dan kebijakan, Indonesia telah memiliki kerangka yang kuat melalui UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga independent. Hak Asasi Manusia sendiri merupakan hak yang mendasar yang harus dilindungi karena manusia adalah makhluk Tuhan yang melakukan berbagai aktivitas untuk kelangsungan hidup, melindungi keturunannya, dan menjaga agama dan kepercayaannya. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”[3].
Aborsi legal dan hak anak merupakan dua isu yang saling berkaitan. Pemenuhan hak anak dalam regulasi aborsi legal merupakan isu kompleks yang membutuhkan analisis mendalam. Regulasi aborsi legal harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan, terutama dalam konteks pemenuhan dan perlindungan hak anak, baik yang sudah lahir maupun yang masih dalam kandungan. Hal ini menjadi penting mengingat setiap keputusan yang diambil akan memiliki dampak langsung terhadap kehidupan dan masa depan anak.
Sebagai isu kesehatan reproduksi, aborsi telah menimbulkan perdebatan serius dan melibatkan aspek emosional yang kompleks. Meluasnya praktik aborsi di masyarakat telah menggeser paradigma bahwa hal ini tabu untuk dibicarakan. Peningkatan frekuensi tindakan aborsi menjadi perhatian publik yang memerlukan penanganan serius. Keputusan melakukan aborsi seringkali didasari oleh berbagai faktor, mulai dari ketidakmampuan ekonomi, konsekuensi pergaulan bebas, perselingkuhan, persepsi tentang beban pengasuhan anak, keinginan menghindari stigma sosial terkait kehamilan di luar nikah, hingga trauma akibat pemerkosaan.
Aborsi adalah perbuatan yang dilakukan untuk menghentikan kehamilan sebelum usia kandungan kehamilan sebelum usia kandungan dua puluh minggu, dari janin kurang dari lima ratus gram dan panjang janin kurang dari dua puluh lima cm.[4] yang dilakukan dengan cara mengeluarkannya secara paksa, hal ini sesuai dengan kesepakatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pengguguran tersebut dapat terjadi karena dua kemungkinan yakni karena ketidaksengajaan atau alami dan dilakukan dengan suatu kesengajaan. Kesengajaan tersebut biasanya dilakukan dengan cara medis dan oleh yang ahli di bidangnya.[5] Di satu sisi ada pula yang menyebut bahwa aborsi adalah suatu perbuatan membunuh nyawa manusia, melanggar hukum dan dikatakan sebagai pebuatan yang tidak berperikemanusiaan.[6] Dewasa ini, pro dan kontra mengenai aborsi masih sering terdengar, bahkan KUHP sendiri menyebut aborsi sebagai sebuah tindak pidana, disisi lain aborsi masih diperlukan oleh sebagian orang dengan alasan tertentu termasuk bagi para korban perkosaan.[7]
Dalam hal ini definisi aborsi diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan, yang berbunyi ” Aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim sebelum janin dapat hidup diluar kandungan.”
Dilihat dari tujuan dilakukannya, Aborsi dibagi menjadi 2 macam, yaitu:[8]
- Abortus Spontaneus yaitu aborsi yang terjadi dengan tidak didahului oleh faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis, semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah.
- Abortus Provocatus yaitu aborsi yang disengaja baik dengan menggunakan obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi jenis ini dibedakan lagi menjadi:
- Abortus provocatus medicinalis yaitu aborsi yang dilakukan karena adanya indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu si janin, atau menghindarkan si ibu dari kerusakan fatal pada kesehatan/tubuhnya yang tidak bisa dikembalikan lagi;
- Abortus provocatus criminalis yaitu aborsi yang dilakukan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain selain therapeutic, dan dilarang oleh hukum.
Pasal 116 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kembali menegaskan bahwa pada dasarnya melarang adanya praktik aborsi, meski demikian larangan tersebut dikecualikan apabila terdapat
- Indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan; atau
- Kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Berdasarkan hal ini terjadi sebuah pertentangan hukum mengenai regulasi Hak Asai Manusia tentang anak dengan regulasi Aborsi yang dilegalkan saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah kejahatan asusila di Indonesia, termasuk perkosaan dan pencabulan, semakin marak semenjak pandemi.Pada 2020 dan 2021, jumlah kasus perkosaan dan pencabulan di tanah air mencapai angka di atas 5.900 kasus per tahun.[9] Data tersebut menunjukan bahwa semakin banyak korban pemerkosaan maka akan semakin banyak pula aborsi legal yang terjadi di indonesia akibta korban pemerkosaan. Perlindungan anak, merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius sebagai bentuk komitmen untuk implementasi amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Masih tingginya kasus dan kekerasan anak di Indonesia merupakan bukti bahwa pemenuhan hak anak dan perlindungan anak di Indonesia masih rendah[10]. Legalitas aborsi dan pemenuhan hak anak adalah isu yang kompleks dan saling terkait. Di satu sisi, setiap anak memiliki hak untuk hidup dan berkembang, yang diakui dalam berbagai perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak. Namun, di sisi lain, ada hak perempuan, termasuk anak perempuan yang hamil akibat pemerkosaan atau dalam situasi berbahaya. Dalam kasus-kasus ini, melanjutkan kehamilan bisa berisiko bagi kesehatan fisik dan mental mereka. Berdasarkan penjelasan sebelumnya saat ini indonesia telah mengizinkan aborsi dalam keadaan tertentu, seperti ketika kesehatan ibu terancam atau jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan mengaturnya. Ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap situasi di mana melanjutkan kehamilan bisa sangat berbahaya.
Namun, ada juga hukum yang menganggap aborsi sebagai tindak pidana, yang menciptakan kebingungan dan dapat menghalangi perempuan, termasuk anak-anak, untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Dilema etis muncul ketika kita harus mempertimbangkan hak anak untuk hidup di satu sisi dan hak perempuan untuk kesehatan dan keselamatan di sisi lain. Situasi ini semakin rumit dengan adanya stigma sosial yang sering dialami oleh perempuan, terutama anak-anak, yang hamil akibat pemerkosaan. Mereka mungkin merasa malu atau takut untuk mencari bantuan, yang dapat memperburuk keadaan mereka.
Secara keseluruhan, legalitas aborsi tidak selalu bertentangan dengan pemenuhan hak anak, tetapi tergantung pada konteks dan situasi spesifik. Dalam beberapa kasus, legalitas aborsi dapat membantu melindungi kesehatan perempuan dan anak-anak yang terlibat. Seperti Perlindungan anak sebagai korban kejahatan, memiliki tujuan agar anak dapat pulih dari rasa traumatik dan dapat didampingi saat berhadapan dengan hukum, tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua korban, tetapi dalam hal ini pemerintah daerah juga memiliki peran yang penting dalam melindungi anak sebagai korban kejahatan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal 1 angka 12 dan 19 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, Masyarakat, Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah Gubernur, Bupati dan Walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan[11]. Oleh karena itu, penting untuk memiliki hukum yang seimbang dan adil, yang mempertimbangkan kedua hak ini secara bersamaan. Reformasi hukum yang lebih baik diperlukan agar hak anak untuk hidup dan hak perempuan untuk kesehatan dapat dipenuhi dengan baik. Dengan pendekatan yang komprehensif, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung bagi semua pihak yang terlibat.
[1] Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak. (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2001), hlm. 10
[2] Nanda Dwi Rizkia, dkk, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Widna Media Utama, 2024), h.116.
[3] Nabilla Suci Ramadhani, Salsabila Lubis, Afifa Tohira, dan Usiono, ” Hak Asasi Manusia Terhadap Anak”, IJEDR: Indonesian Journal of Education and Development Research 2, no. 1 (2024): h.109, http://dx.doi.org/10.57235/ijedr.v2i1.1567.
[4] Goelardi Wignjosastro, Masalah Kehidupan Dan Perkembangan Janin (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001).
[5] Ni Putu Ratih Puspitasari, I Made Sepud, and Ni Made Sukaryati Karma, “Tindak Pidana Aborsi Akibat Perkosaan,” Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (2021): 135–39, https://doi.org/https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3058. 135-139
[6] Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Cirebon: Djambatan, 2005).
[7] Shafira Fatahaya, Rosalia Dika Agustanti, ”Legalitas Aborsi yang Dilakukan oleh Anak Akibta Perkosaan Inses”, Jurnal USM Law Review 4, no.2 (2021), h.510, http://dx.doi.org/10.26623/julr.v4i2.4041
[8] Marcel Seran, Anna Maria Wahyu, Dilema Etika dan Hukum Dalam Pelayanan Medis (bandung: Mandar Maju, 2010), h.61.
[9] Cindy Mutia Annur. Jumlah Kasus Perkosaan dan Pencabulan RI Meningkat Semenjak Pandemi, Databoks.katadata.co.id, 2023, Jumlah Kasus Perkosaan dan Pencabulan RI Meningkat Semenjak Pandemi
[10] Ahmad Saleh, Malicia Evendia dan Martha Riananda, “Pemetaan Kebutuhan Produk Hukum Daerah dalam Rangka Mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum 22, no.1 (2020), h.17, https://doi.org/10.24815/kanun.v22i1.15694
[11] Erna Dewi, dkk, Sistem Peradilan Pidana Anak Mewujudkan Kepastian Hukum Terbaik Bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum, (Bandar Lampung: Pusaka Media, 2020), h. 43.